Wednesday, January 30, 2019
Kisah 'Umar ibn Khattab: 'Umar Tak Menggunakan Baitul Mal untuk Melunasi Utangnya
Pancarona Islam - 'Umar pernah berkata kepada putranya, "Wahai 'Abdullah ibn 'Umar, hitunglah utang-utangku." Setelah dihitung, ternyata utang 'Umar mencapai 86.000 dinar atau kurang lebih sebesar itu.
'Umar pun berkata lagi, "Jika harta keluarga 'Umar bisa melunasinya, bayarlah dengan hartanya. Jika tidak, mintalah kepada bani 'Adi ibn Ka'ab. Jika tidak mencukupi, mintalah kepada suku Quraisy. Setelah itu, jangan minta kepada lainnya."
'Abdurrahman ibn 'Auf pun bertanya, "Tidakkah engkau meminjamnya dari Baitul Mal hingga engkau menggantinya?" 'Umar berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari engkau yang mengatakan itu atau para sahabatmu setelahku." (1)
Dari penjelasan di atas, dapat diambil pelajaran bahwa janganlah pernah menggunakan dana umat/masyarakat demi kepentingan pribadi, keluarga, maupun golongan. Walaupun kepentingan itu mendesak sekalipun, seperti utang. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh 'Umar ibn Khattab. Sebab sebenarnya terdapat banyak cara untuk bisa melunasinya selain menggunakan dana umat/masyarakat.
Referensi:
(1) Ibn Sa'ad, Al-Thabaqat, h. 260.
Tahukah Anda Dua Keutamaan Shalat Dhuha Ini?
![]() |
Gambar: Orang sedang melakukan sujud. |
Pancarona Islam - Salah satu amalan sunnah yang sering pula dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah shalat Dhuha. Tapi, tahukah anda keutamaan dari shalat Dhuha? Berikut ini beberapa keutamaan dari shalat Dhuha, antara lain:
1. Dapat Menggantikan Kewajiban Sedekah Seluruh Persendian
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
Artinya: "Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma'ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka'at." [1]
Sebagaimana yang diketahui, bahwa persendian yang ada pada seluruh tubuh berdasarkan hadits dan telah dibuktikan dalam dunia kesehatan, berjumlah 360 persendian. 'Aisyah ra. pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
Artinya: "Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian." [2]
Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,
Artinya: "Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah." Para sahabat pun mengatakan, "Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas mengatakan, "Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka'at." [3]
An Nawawi mengatakan, "Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka'at." [4]
Asy Syaukani mengatakan, "Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari'atkannya shalat tersebut. Dua raka'at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus." [5]
2. Menjaga Diri dari Terjerumus dalam Dosa
Keutamaan shalat Dhuha lainnya disebutkan dalam hadits berikut,
Artinya: Dari Nu'aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta'ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka'at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang." [6]
Penulis 'Aunul Ma'bud - Al 'Azhim Abadi - menyebutkan, "Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelamatkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu." [7]
Referensi:
[1] HR. Muslim no. 720.
[2] HR. Muslim no. 1007.
[3] HR. Ahmad, 5/354. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi.
[4] Syarh Muslim, An Nawawi, 5/234, Dar Ihya' At Turots, cetakan kedua, 1392.
[5] Nailul Author, Asy Syaukani, 3/77, Idaroh At Thob'ah Al Munirah.
[6] HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[7] 'Aunul Ma'bud, Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abadi, 4/118, Darul Kutub Al 'Ilmiyyah, cetakan kedua, tahun 1415 H.
Saturday, January 26, 2019
Kisah 'Utsman ibn Affan: Terpandangnya Akhlaq 'Utsman ra. di Masa Jahiliyah
Pancarona Islam - Pada masa jahiliyah dahulu, 'Utsman ra. termasuk orang yang terpandang dalam kaumnya. Beliau adalah salah satu orang yang terhormat, kaya raya, sangat pemalu, dan halus budi bahasanya. Oleh sebab itulah, banyak diantara kaumnya sangat mencintainya. Beliau juga tidak pernah bersujud kepada berhala sekali pun, tidak pernah berbuat keburukan dan meminum khamar setetes pun sejak sebelum Islam datang. Beliau memiliki pendapat tersendiri tentang khamar. Menurutnya 'Utsman ra., "Khamar itu menghilangkan akal. Padahal, akal adalah sesuatu yang paling mulia yang Allah anugerahkan kepada manusia. Karena itulah manusia seharusnya memuliakan akal, bukan melawannya." (1)
Referensi :
(1) Kitab 'Utsman ibn 'Affan karya Al-Shalabi.
Tahukah Anda? 4 Cara Mendidik Anak dalam Islam Ini
Pancarona Islam - Pendidikan anak yang baik adalah pendidikan yang juga menanamkan pelajaran akhlaq baik secara kuat dan kokoh ke dalam jiwa anak. Jika anak sudah ditanamkan dengan akhlaq baik, maka ia akan mampu menolak syahwat jelek dan jiwanya tidak akan nyaman kecuali melakukan hal-hal yang baik. Untuk bisa menanamkan akhlaq baik diperlukan pula cara mendidik yang baik. Berikut ini empat cara mendidik anak dalam Islam, yang terbukti baik untuk anak, antara lain:
1. Mendidik dengan Kelembutan
Agar pendidikan dapat diterima anak, cara mendidiknya pun perlu dilakukan dengan kelembutan. Hal ini pun dilakukan oleh Rasulullah SAW, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sejumlah hadits dimana Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk menggunakan kelembutan saat berinteraksi dengan orang lain, seperti berikut:
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْج النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ قال رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ رواه البخاري6024
Artinya: "Dari 'Aisyah, istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai beliau, berkata: Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, 6024).
وروى مسلم (2592) عَنْ جَرِيرٍ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ ، يُحْرَمِ الْخَيْرَ
Artinya: "Muslim (2592) meriwayatkan dari Jarir bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Barangsiapa yang terhalangi dari kelembutan, maka dia akan terhalangi dari kebaikan'."
وعَنْ عَائِشَةَ ، زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شيء إِلاَّ زَانَهُ ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شيء إِلاَّ شَانَهُ ) رواه مسلم (2594
Artinya: "Dari 'Aisyah, istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, semoga Allah meridhai beliau, berkata, 'Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya kelembutan, tidaklah berada pada sesuatu kecuali pasti menghiasinya, dan tidaklah kelembutan diambil dari sesuatu, pasti merusaknya'."
وعَنْ عَائِشَةَ : أَنَّهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًاأَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ. رواه الإمام أحمد في مسنده (24427) ، وصححه الألباني في ” صحيح الجامع الصغير ” رقم (303)
Artinya: "Dari 'Aisyah semoga Allah meridhai beliau bahwa dia berkata: Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Jika Allah 'azza wa jalla menginginkan kebaikan bagi anggota rumah tangga, Dia akan memasukkan kelembutan kepada mereka' (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (24427); yang dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jaami 'as-Shaghir (303)).
Di antara salah satu tabiat anak-anak pada umumnya, yang lebih mencintai orang tua yang lemah lembut kepada mereka, membantu mereka, dan yang memberikan perhatian kepada mereka. Sebisa mungkin, pendidikan anak dilakukan tanpa teriak dan amarah.
Pendidikan haruslah penuh dengan hikmah dan kesabaran. Sebab anak usia dini sejatinya membutuhkan hiburan dan permainan. Selain itu, usia dini juga merupakan usia yang tepat untuk menanamkan adab-adab dan pendidikan bagi anak. Oleh karena itulah, sebagai orang tua, anda harus mampu menyeimbangkan antara keduanya.
Saat anak-anak mencintai orang tua yang penuh kelembutan, maka cintanya ini akan memotivasi mereka untuk menaati orang tuanya. Sebaliknya, orang tua yang tidak memiliki kelembutan dan mengandalkan kekerasan, justru akan menyebabkan anak menjauh dari orang tua. Alhasil, anak akan lebih keras kepala dan tidak taat. Atau bisa jadi anak anda justru merasakan ketakutan, yang nantinya akan menumbuhkan sifat dusta dan tipu daya dalam diri anak. Anak akan lebih sering berdusta dan berbohong kepada orang tua.
2. Mendidik dengan Kelembutan Tidak Berarti Meniadakan Hukuman di Saat yang Diperlukan
Hal yang perlu diperhatikan adalah hukuman yang diberikan saat membesarkan anak-anak ini haruslah digunakan dengan bijak. Tidaklah benar jika anak selalu dihukum atas setiap pelanggaran yang dilakukan. Hukuman diterapkan saat kelembutan tidak lagi berpengaruh, dan ketika nasehat, perintah, dan larangan telah diabaikan.
Hukuman yang diberikan pun haruslah memberikan manfaat. Misalnya, anda memiliki masalah pada kebiasaan anak-anak anda, yang menghabiskan waktu lama di depan televisi hingga melupakan aktivitas yang lain, maka anda dapat membatasi program yang mereka tonton. Hukuman seperti itu bermanfaat dan tidak membahayakan secara umum serta bebas dari perkara mungkar.
Jika mereka melampaui waktu menonton televisi, anda bisa mengalihkan mereka dengan kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya. Usahakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan yang melibatkan anda, sebagai orang tua. Misalnya, memancing ikan bersama atau bermain sebuah permainan yang mengasah keterampilan anak anda.
3. Mendidik Anak dengan Memberikan Contoh Baik
Agar anak bisa memahami pendidikan akhlaq yang diberikan, seharusnya orang tua juga memiliki akhlaq yang baik terlebih dahulu. Hal ini akan memberikan contoh bagi anak.
Sebab hal pertama yang harus anda lakukan untuk mendidik keshalihan anak, adalah membuat diri anda menjadi shalih terlebih dahulu. Sebab anak-anak cenderung meniru perbuatan yang dilakukan oleh orang tua mereka. Oleh sebab itu, sebagai orang tua, sebaiknya mulai hari ini anda membiasakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jelek di hadapan anak anda.
4. Mendidik Anak dengan Menerapkan Lingkungan yang Baik
Lingkungan yang baik bagi anak adalah lingkungan yang memuji perbuatan baik dan menasehati setiap perbuatan buruk. Lingkungan seperti ini terbilang jarang anda temui. Oleh sebab itu, diperlukan usaha keras guna membentuk lingkungan yang seperti ini, sekurang-kurangnya pada lingkungan keluarga anda.
Sebagaimana yang telah banyak orang ketahui, bahwa anak juga cenderung meniru perbuatan dari interaksi orang-orang di sekitarnya. Jadi, ciptakanlah interaksi yang baik sehingga lingkungan yang ada pun cukup baik. Alhasil, anak akan lebih mudah memahami pendidikan yang diberikan.
Kisah Abu Bakar: Awal Mula Abu Bakar Berjuluk Al-Shiddiq
Pancarona Islam - Abu Bakar ra. mendapatkan julukan "Al-Shiddiq" karena beliau sangat memercayai Nabi Muhammad SAW. Julukan ini bermula saat banyak orang yang membicarakan perjalanan Nabi Muhammad SAW ke Masjid Al-Aqsha saat Isra' Mi'raj. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘A’isyah r.a. yang berkata, "Ketika Nabi SAW dalam perjalanan ke Masjid Al-Aqsha saat Isra Mi'raj, banyak orang membicarakannya."
Beberapa dari orang yang membicarakan Nabi Muhammad SAW ini adalah mereka yang telah beriman. Namun karena itu, mereka pun berbalik tidak percaya atas perjalanan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW, lalu mendatangi Abu Bakar dan berkata, "Apa pendapatmu tentang cerita temanmu itu? Dia mengaku telah diperjalankan ke Baitul Maqdis semalam." Mendengar pertanyaan ini, Abu Bakar ra. pun balik bertanya, "Dia mengatakan demikian?" Mereka menjawab, "Ya." Abu Bakar kemudian berkata, "Kalau begitu dia benar."
"Jika dia (Nabi Muhammad SAW) pergi ke Baitul Maqdis semalam dan kembali
sebelum pagi hari ini, apa engkau akan membenarkannya juga?” tanya mereka lagi. Abu Bakar ra. menjawab, "Seandainya dia (Nabi Muhammad SAW) mengatakan lebih jauh lagi dari itu, aku akan membenarkannya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang." Peristiwa inilah yang menjadi latar belakang Abu Bakar ra. mendapatkan julukan dengan "Al-Shiddiq.” (1)
Referensi :
(1) Hadis yang ditakhrij oleh Al-Hakim (Bab 3, halaman 62-63) dan ditashih oleh Al-Dzahabi.
Monday, December 3, 2018
Amalan Sunnah: Shalat Dhuha
![]() |
Sumber gambar: www.tarbiyah.net |
Pancarona Islam - Salah satu amalan sunnah yang sering pula dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah shalat Dhuha. Hukum mendirikan shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq dan boleh dirutinkan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah dalil yang juga menunjukkan keutamaan shalat Dhuha.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan. Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku bagi umat lainnya. Abu Hurairah mengatakan,
Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah ,
Artinya: "Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit."
’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [2]
Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha
Shalat Dhuha bisa dilakukan saat waktu matahari meninggi hingga mendekati waktu zawal (matahari bergeser ke barat). [3] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktunya adalah mulai dari matahari setinggi tombak, dilihat dengan pandangan mata, hingga mendekati waktu zawal. Lalu beliau jelaskan bahwa waktunya dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit, hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke barat.[4] Sedangkan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia), menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit. [5]
Jadi, silakan disesuaikan dengan terbitnya matahari di masing-masing daerah karena tidak bisa dipastikan jam pastinya shalat Dhuha tersebut dimulai dan berakhir. Dan setiap hari waktu terbit matahari pun berbeda.
Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di akhir waktu [6], yaitu keadaan yang semakin panas. Dalilnya adalah,
Artinya "Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, 'Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "(Waktu terbaik) shalat awwabin (nama lain untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang yang taat atau kembali untuk taat [7])" adalah ketika anak unta merasakan terik matahari'." [8]
An Nawawi mengatakan, "Inilah waktu utama untuk melaksanakan shalat Dhuha. Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha. Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari terbit hingga waktu zawal." [9]
Jumlah Raka’at Shalat Dhuha
Shalat Dhuha dilakukan minimal sebanyak dua raka’at sedangkan maksimalnya adalah tanpa batas, menurut pendapat yang paling kuat [10]. Jadi boleh hanya dua raka’at, boleh empat raka’at, dan seterusnya asalkan jumlah raka’atnya genap. Namun jika ingin dilaksakan lebih dari dua raka’at, shalat Dhuha tersebut dilakukan setiap dua raka’at salam.
Dalil minimal shalat Dhuha adalah dua raka’at sudah dijelaskan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya adalah tak terbatas, yaitu hadits,
Artinya: "Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, berapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab, "Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka beliau." [11]
Sumber:
1. HR. Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 721.
2. HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya.
3. Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/425, Al Maktabah At Taufiqiah.
4. Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,hal. 289, Daruts Tsaroya, cetakan pertama, tahun 1424 H.
5. Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah.
6. Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah.
7. Syarh Muslim, 6/30.
8. HR. Muslim no. 748.
9. Syarh Muslim, 6/30.
10. Pendapat ini dipilih juga oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah,hal. 289.
11. HR. Muslim no. 719.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Contributors
loading...